Di bawah cahaya redup yang nyaris menelan sosoknya, Aji berdiri dengan pandangan tajam dan rahang mengeras, seakan setiap tarikan napasnya adalah perlawanan terhadap masa lalu yang membekas di wajahnya; garis perban yang melintang menjadi saksi bisu bahwa ada luka yang tak sekadar menggores kulit, melainkan juga merobek sebagian dari jiwanya.